Penjual bensin eceran dan Pertamini
kian menjamur di berbagai sudut kota Metropolis. Ternyata, keberadaan
mereka ilegal. Bisnis itu sebenarnya dilarang Undang-Undang Minyak dan
Gas.
Jika biasanya harga resmi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dijual Rp7.600 per liter untuk premium, maka di Pertamini atau penjual eceran dijual Rp9 ribu-Rp10 ribu per liter. Ini mungkin wajar mengingat penjual juga mengambil keuntungan dari harga jual bensin.
Tapi bagaimana dengan Pertamini? Mungkin ada pula konsumen yang kaget, harga jualnya sama dengan penjual bensin eceran tanpa brand. Seharusnya, paling tidak dengan SPBU tidak jauh berbeda, karena brand Pertamini. Ups, ternyata Pertamini itu bukan bagian dari Pertamina. Itu adalah inisiatif dari penjual bensin eceran.
Inovasi dalam berbisnis memang dibutuhkan untuk memikat para pengendara menjadi pelanggan tetap. Sepertinya penjual BBM bersubsidi berlabel Pertamini juga demikian. Usut punya usut, ternyata bisnis serupa sebelumnya sudah ramai di Pulau Jawa hingga kemudian merambah Metropolis.
Semau bisnis yang menyangkut penjualan BBM eceran itu ilegal karena mmelanggar undang undang RI nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Pada Bab XI pasal 55 Tentang Pidana. Kurang lebih berbunyi “setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan atau Niaga BBM yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan denda Rp60 juta."
Kemungkinan besar, aturan ini tidak diketahui secara sadar oleh penjual BBM bersubsidi. Ada pula yang pura-pura tidak tahu karena tuntutan kebutuhan hidup, juga mengindahkan karena tidak ada tindakan dari pemerintah.
Ridwan (30)-nama samaran-yang menjual bensin eceran dengan label Pertamini di Kelurahan 8 Ilir mengungkapkan dia terinspirasi menjual BBM model Pertamini dari seorang teman pemilik Pertamini di Jakarta. “Sudah jalani bisnis kurang lebih dua bulan,” ujarnya.
Dia tak menjelaskan secara detail box Pertamini didapat darimana, tetapi yang jelas bensin diperoleh dari membeli di SPBU jalan R Sukamto. "Karena membeli dengan dirigen tidak boleh, maka saya akali membelinya dengan sepeda motor yang tangki bahan bakarnya berselinder besar seperti motor sport," sebutnya. Kalau beli full tank bisa dapat 14 liter setiap hari.
Dari situ, bensin baru dituangkannya ke dirigen. "Dirigen itu saya letakkan di dalam box Pertamini. Dari dirigen, bensin siap mengalir ke tabung Pertamini yang berisi 5 liter," ujar dia. Setelah itu bensin pun siap dijual ke pengendara.
Dikatakan, setelah membeli BBM bersubsidi di SPBU yang satu, dia tidak akan kembali ke SPBU tersebut untuk mengisi tangki motor yang kedua. "Kalau mengulang kembali, petugas bisa mengetahui tindakan saya. Daripada ketangkap lebih baik cari SPBU lain," bebernya.
Dengan berbisnis Pertamini ini, tak pelak dirinya bisa meraup keuntungan yang cukup besar. "Per liter saya jual Rp9 ribu dari harga normal Rp7.600. Kalau sehari kira-kira habis sekitar 30 liter atau bisa untung Rp42 ribu," ceritanya. Alhasil, pedagang BBM eceran yang biasa menjual menggunakan botol air mineral sepi karena lebih percaya dengan Pertamini. “Mobil tidak pernah, cuma motor saja yang biasa beli,” jelasnya.
Senada diungkapkan pemilik Pertamini di jalan Kasnariansyah, Rudi. Dia mengakui mendapat pasokan BBM puluhan liter dengan membeli bensin di SPBU Tanjung Api Api. “Biasanya beli malam dan diterima,” ujarnya. Agar tidak dicurigai, dirinya membuat jeda waktu beberapa hari apabila kehabisan BBM untuk dijual. “Kadang juga beli malam di SPBU daerah betung. Itupun harus sembunyi sembunyi,” jelasnya.
Sementara pedagang BBM eceran, Yogi (25) di jalan Angkatan 45 mengaku tidak mengetahui menjual bensin eceran itu ilegal. Baginya, menjual apapun apabila menguntungkan langsung dilaksanakan.
“Saya kerjasama dengan teman saat mencari pasokan BBM. Salah satunya caranya mengisi BBM di tangki motor agar tidak ketahuan,” ujarnya.
Terkait label Pertamini, dirinya ternyata baru mendengar. "Nanti mungkin bakal juga ganti dengan label Pertamini. Biar konsumen tertarik beli barang dagangan kita,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar